Ada sholat khusus yang hanya dilakukan di bulan Ramadhan. Yang mana banyak sekali keutamaan bagi muslim yang mengerjakan sholat sunah tarawih ini. Apa itu? Ya. Sholat Tarawih. Sholat tarawih merupakan sholat sunah yang mempunyai keutamaan dan pahala yang besar.
Berikut Keutaman Sholat Tarawih:
“Barangsiapa melaksanakan ibadah (tarawih) di bulan Ramadhan disertai keimaanan dan keikhlasan, maka akan diampuni baginya dosa yang telah lampau” (HR. Imam Bukhori, Muslim, dan lainnya).
Al-Hishni mengatakan:
وَأما صَلَاة التَّرَاوِيح فَلَا شكّ فِي سنيتها وانعقد الْإِجْمَاع على ذَلِك قَالَه غير وَاحِد وَلَا عِبْرَة بشواذ الْأَقْوَال
“Adapun shalat tarawih, tidak diragukan lagi di dalam kesunnahannya. Kesepakatan ulama telah menjadi kukuh di dalam kesunnahannya, yang demikian dikatakan tidak hanya satu orang. Tidak dianggap pendapat-pendapat yang menyimpang” (Syekh Taqiyuddin al-Hishni, Kifayah al-Akhyar, hal. 89).
Mengenai lafadz “qooma romadhoona”, para ulama sepakat bahwa di dalam hadist ini bermakna pada sholat tarawih. Sebagaimana Syaikh Khotib As Syarbani menegaaskan:
“Ulama sepakat atas kesunnahan tarawih dan sesungguhnya tarawih adalah shalat yang dikehendaki dalam hadits Nabi, Barang siapa ibadah (tarawih) di bulan Ramadhan seraya beriman dan ikhlas, maka diampuni baginya dosa yang telah lampau. Hadits diriwayatkan al-Bukhari. Adapun sabda Nabi “imanan”, maksudnya adalah membenarkan bahwa yang demikian itu haq seraya meyakini keutamaannya. Sabda Nabi “wahtisaaban”, maksudnya ikhlas” (Syekh Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 1, hal. 459).
Ulama berbeda pendapat mengenai dosa yang diampuni dalam hadits tersebut, sebagaimana mereka juga ikhtilaf di dalam hadits-hadits sejenis. Menurut al-Imam al-Haramain, yang dihapus hanya dosa-dosa kecil, sedangkan dosa besar hanya bisa diampuni dengan cara bertaubat. Sementara menurut Imam Ibnu al-Mundzir, redaksi “mâ” (dosa) dalam hadits tersebut termasuk kategori lafadh ‘âm (kata umum) yang berarti mencakup segala dosa, baik kecil atau besar.
Syekh Muhammad bin Ahmad al-Ramli mengatakan:
قَالَ الْإِمَامُ: )وَالْمُكَفَّرُ الصَّغَائِرُ دُونَ الْكَبَائِرِ( . قَالَ صَاحِبُ الذَّخَائِرِ: وَهَذَا مِنْهُ تَحَكُّمٌ يَحْتَاجُ إلَى دَلِيلٍ وَالْحَدِيثُ عَامٌّ وَفَضْلُ اللَّهِ وَاسِعٌ لَا يُحْجَرُ. قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ فِي قَوْلِهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ» : هَذَا قَوْلٌ عَامٌّ يُرْجَى أَنَّهُ يُغْفَرُ لَهُ جَمِيعُ ذُنُوبِهِ صَغِيرُهَا وَكَبِيرُهَا
“Al-Imam al-Haramain berkata, yang dilebur adalah dosa-dosa kecil, bukan dosa-dosa besar. Berkata pengarang kitab Ad Dzakhoir, ini adalah vonis sepihak dari al-Imam al-Haramain yang butuh dalil, padahal haditsnya umum dan anugerah Allah luas tak terbendung.
Ibnu al-Mundzir berkata di dalam sabda Nabi, Barangsiapa ibadah (tarawih) di bulan Ramadhan seraya beriman dan ikhlas, maka diampuni baginya dosa yang telah lampau, ini adalah perkataan yang umum, diharapkan terampuninya seluruh dosa-dosa bagi pengamalnya, dosa kecil dan besar” (Syekh Muhammad bin Ahmad al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, juz 3, hal. 206).
Imam Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Sayyidah Aisyah bahwa Nabi pada suatu malam berada di dalam masjid, beliau shalat dan diikuti oleh para sahabat. Di hari berikutnya Nabi shalat seperti di hari pertama dan jamaah yang mengikutinya bertambah banyak.
Kemudian di hari ke tiga atau ke-4 sahabat nabi itu berkumpul di masjid untuk menanti kedatangan Nabi untuk shalat berjamaah tarawih bersama-sama. Namun, Nabi tidak kunjung hadir hingga subuh. Beliau menjelaskan perihal ketidakhadirannya di masjid semalam, beliau bersabda “Aku telah melihat apa yang kalian lakukan, tidaklah mencegahku untuk keluar shalat bersama kalian kecuali aku khawatir shalat ini difardlukan atas kalian. Perawi hadits menjelaskan bahwa yang demikian itu terjadi di bulan Ramadhan” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Nabi sengaja tidak melanjutkan jamaah tarawih di masjid di hari-hari berikutnya, karena khawatir ada anggapan bahwa shalat tarawih itu hukumnya wajib.
Sunnah ini kemudian berlanjut sampai masanya khalifah Abu Bakar Shidiq hingga pada masa khalifah Umar bin al-Khatab, atas ide khalifah Umar dan disepakati seluruh sahabat, dilakukan jamaah tarawih secara rutin di masjid hingga akhir Ramadhan.
Ulama menjelaskan bahwa telah terjadi perbedaan konteks di zaman Nabi dan Abu Bakar dengan masanya Umar, sehingga terjadi praktik yang berbeda dalam pelaksanaan tarawih.
Bila di masa Nabi masih sangat rentan diyakini wajib, maka alasan tersebut hilang saat masa kepemimpinan Sayyidina Umar, sehingga dilakukan jamaah tarawih secara rutin di masjid.
Syekh Taqiyuddin al-Hishni menegaskan:
“Dan Sayyidina Umar melakukan hal demikian (mengumpulkan manusia untuk shalat jamaah tarawih) karena terjamin dari anggapan kewajiban tarawih” (Syaikh Taqiyuddin al Hishni, Kifayah al Akhyar, hal. 89).
Imam al Baihaqi dan lainnya meriwayatkan dengan sanad yang shoahih, bahwa umat Islam shalat tarawih di bulan Ramadhan pada masa pemerintahan Sayyidina Umar bin al-Khattab sebanyak 20 rakaat.
Di dalam riwayat lain dari Imam Malik di kitab al Mawattha’, jumlah rakaat sholat yang dilakukan di masa Umar bin Khottob adalah 23 rakaat. Al-Imam al-Baihaqi kemudian menjelaskan dua dalil tersebut bahwa riwayat yang menyatakan 20 rakaat konteksnya adalah tanpa menghitung 3 rakaat sahalat witir, sedangakan riwayat yang menyebut 23 rakaat setelah menghitung 3 rakaat witir.
Demikian penjelasan mengenai Dalil Lengkap dan Keutamaan Melaksanakan Sholat Tarawih di Bulan Ramadhan. Semoga kita diberi kekuatan untuk istiqamah menjalankannya dengan ikhlas. (referensi:nuonline)
Ramadhan
Sholat
Berikut Keutaman Sholat Tarawih:
Diampuni Dosa yang Telah Lampau
Ada eberapa hadist nabi yang menjelaskan bagaimana keutamaan sholat tarawih. Diantaranya adalah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori, Imam Muslim, dan juga yang lainnya:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa melaksanakan ibadah (tarawih) di bulan Ramadhan disertai keimaanan dan keikhlasan, maka akan diampuni baginya dosa yang telah lampau” (HR. Imam Bukhori, Muslim, dan lainnya).
Al-Hishni mengatakan:
وَأما صَلَاة التَّرَاوِيح فَلَا شكّ فِي سنيتها وانعقد الْإِجْمَاع على ذَلِك قَالَه غير وَاحِد وَلَا عِبْرَة بشواذ الْأَقْوَال
“Adapun shalat tarawih, tidak diragukan lagi di dalam kesunnahannya. Kesepakatan ulama telah menjadi kukuh di dalam kesunnahannya, yang demikian dikatakan tidak hanya satu orang. Tidak dianggap pendapat-pendapat yang menyimpang” (Syekh Taqiyuddin al-Hishni, Kifayah al-Akhyar, hal. 89).
Mengenai lafadz “qooma romadhoona”, para ulama sepakat bahwa di dalam hadist ini bermakna pada sholat tarawih. Sebagaimana Syaikh Khotib As Syarbani menegaaskan:
وَقَدْ اتَّفَقُوا عَلَى سُنِّيَّتِهَا وَعَلَى أَنَّهَا الْمُرَادُ مِنْ قَوْلِهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَقَوْلُهُ: إيمَانًا: أَيْ تَصْدِيقًا بِأَنَّهُ حَقٌّ مُعْتَقِدًا فَضِيلَتَهُ، وَاحْتِسَابًا: أَيْ إخْلَاصًا،
“Ulama sepakat atas kesunnahan tarawih dan sesungguhnya tarawih adalah shalat yang dikehendaki dalam hadits Nabi, Barang siapa ibadah (tarawih) di bulan Ramadhan seraya beriman dan ikhlas, maka diampuni baginya dosa yang telah lampau. Hadits diriwayatkan al-Bukhari. Adapun sabda Nabi “imanan”, maksudnya adalah membenarkan bahwa yang demikian itu haq seraya meyakini keutamaannya. Sabda Nabi “wahtisaaban”, maksudnya ikhlas” (Syekh Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 1, hal. 459).
Ulama berbeda pendapat mengenai dosa yang diampuni dalam hadits tersebut, sebagaimana mereka juga ikhtilaf di dalam hadits-hadits sejenis. Menurut al-Imam al-Haramain, yang dihapus hanya dosa-dosa kecil, sedangkan dosa besar hanya bisa diampuni dengan cara bertaubat. Sementara menurut Imam Ibnu al-Mundzir, redaksi “mâ” (dosa) dalam hadits tersebut termasuk kategori lafadh ‘âm (kata umum) yang berarti mencakup segala dosa, baik kecil atau besar.
Syekh Muhammad bin Ahmad al-Ramli mengatakan:
قَالَ الْإِمَامُ: )وَالْمُكَفَّرُ الصَّغَائِرُ دُونَ الْكَبَائِرِ( . قَالَ صَاحِبُ الذَّخَائِرِ: وَهَذَا مِنْهُ تَحَكُّمٌ يَحْتَاجُ إلَى دَلِيلٍ وَالْحَدِيثُ عَامٌّ وَفَضْلُ اللَّهِ وَاسِعٌ لَا يُحْجَرُ. قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ فِي قَوْلِهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ» : هَذَا قَوْلٌ عَامٌّ يُرْجَى أَنَّهُ يُغْفَرُ لَهُ جَمِيعُ ذُنُوبِهِ صَغِيرُهَا وَكَبِيرُهَا
“Al-Imam al-Haramain berkata, yang dilebur adalah dosa-dosa kecil, bukan dosa-dosa besar. Berkata pengarang kitab Ad Dzakhoir, ini adalah vonis sepihak dari al-Imam al-Haramain yang butuh dalil, padahal haditsnya umum dan anugerah Allah luas tak terbendung.
Ibnu al-Mundzir berkata di dalam sabda Nabi, Barangsiapa ibadah (tarawih) di bulan Ramadhan seraya beriman dan ikhlas, maka diampuni baginya dosa yang telah lampau, ini adalah perkataan yang umum, diharapkan terampuninya seluruh dosa-dosa bagi pengamalnya, dosa kecil dan besar” (Syekh Muhammad bin Ahmad al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, juz 3, hal. 206).
Kisah Perjalanan Nabi Mengenai Sholat Tarawih
Imam Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Sayyidah Aisyah bahwa Nabi pada suatu malam berada di dalam masjid, beliau shalat dan diikuti oleh para sahabat. Di hari berikutnya Nabi shalat seperti di hari pertama dan jamaah yang mengikutinya bertambah banyak.
Kemudian di hari ke tiga atau ke-4 sahabat nabi itu berkumpul di masjid untuk menanti kedatangan Nabi untuk shalat berjamaah tarawih bersama-sama. Namun, Nabi tidak kunjung hadir hingga subuh. Beliau menjelaskan perihal ketidakhadirannya di masjid semalam, beliau bersabda “Aku telah melihat apa yang kalian lakukan, tidaklah mencegahku untuk keluar shalat bersama kalian kecuali aku khawatir shalat ini difardlukan atas kalian. Perawi hadits menjelaskan bahwa yang demikian itu terjadi di bulan Ramadhan” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Nabi sengaja tidak melanjutkan jamaah tarawih di masjid di hari-hari berikutnya, karena khawatir ada anggapan bahwa shalat tarawih itu hukumnya wajib.
Sunnah ini kemudian berlanjut sampai masanya khalifah Abu Bakar Shidiq hingga pada masa khalifah Umar bin al-Khatab, atas ide khalifah Umar dan disepakati seluruh sahabat, dilakukan jamaah tarawih secara rutin di masjid hingga akhir Ramadhan.
Ulama menjelaskan bahwa telah terjadi perbedaan konteks di zaman Nabi dan Abu Bakar dengan masanya Umar, sehingga terjadi praktik yang berbeda dalam pelaksanaan tarawih.
Bila di masa Nabi masih sangat rentan diyakini wajib, maka alasan tersebut hilang saat masa kepemimpinan Sayyidina Umar, sehingga dilakukan jamaah tarawih secara rutin di masjid.
Syekh Taqiyuddin al-Hishni menegaskan:
وَفعل عمر ذَلِك لأمنه الافتراض
“Dan Sayyidina Umar melakukan hal demikian (mengumpulkan manusia untuk shalat jamaah tarawih) karena terjamin dari anggapan kewajiban tarawih” (Syaikh Taqiyuddin al Hishni, Kifayah al Akhyar, hal. 89).
Sholat Tarawih itu 20 Rakaat
Imam al Baihaqi dan lainnya meriwayatkan dengan sanad yang shoahih, bahwa umat Islam shalat tarawih di bulan Ramadhan pada masa pemerintahan Sayyidina Umar bin al-Khattab sebanyak 20 rakaat.
Di dalam riwayat lain dari Imam Malik di kitab al Mawattha’, jumlah rakaat sholat yang dilakukan di masa Umar bin Khottob adalah 23 rakaat. Al-Imam al-Baihaqi kemudian menjelaskan dua dalil tersebut bahwa riwayat yang menyatakan 20 rakaat konteksnya adalah tanpa menghitung 3 rakaat sahalat witir, sedangakan riwayat yang menyebut 23 rakaat setelah menghitung 3 rakaat witir.
Demikian penjelasan mengenai Dalil Lengkap dan Keutamaan Melaksanakan Sholat Tarawih di Bulan Ramadhan. Semoga kita diberi kekuatan untuk istiqamah menjalankannya dengan ikhlas. (referensi:nuonline)