Santri Mandiri - Puji syukur kehadirat Allah SWT. karena dengan anugerah maupun inayahnya kita dapat diberikan kelonggaran waktu untuk melaksanakan ibadah sholat jum'at. Dengan besar rasa syukur marilah kita tingkatkan ketakwaan kita yang sebenar-benarnya, yakni melakukan apa yang diperintahkan oleh Allah dan menjauhi segala larangannya. Sejalan dengan itu pasti kita sangat mempunyai cita-cita yaitu menggapai derajat kemuliaan dihadapan Allah SWT.
Namun untuk menggapai hal tersebut kita tidak bisa hanya dengan cuma-cuma, dan berleha-leha, dibutuhkan kesungguhan serta kegigihan untuk menggapainya. Maka segala sesuatu hal pekerjaan yang kita lakukan harus sungguh-sungguh dan harus dengan menggunakan ilmu.
Sebagaimana dengan firman Allah SWT. sebagai berikut :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن تَتَّقُوا۟ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّـَٔاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ ذُو ٱلْفَضْلِ ٱلْعَظِيمِ
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan furqan (kemampuan membedakan antara yang hak dan batil) kepadamu dan menghapus segala kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Allah memiliki karunia yang besar.”
(QS. Al-Anfal: 29)
Didalam ayat tersebut terdapat kata furqan, lalu apakah yang dimaksud dengan furqan? dari ayat diatas yang dimaksud furqan itu adalah ilmu atau pengetahuan, agar bisa digunakan untuk dapat membedakan antara haq dan bathil.
Ilmu pengetahuan adalah cahaya, kemuliaan, dan keutamaan, sedangkan bodoh atau kebodohan adalah suatu keburukan, hinaan, dan bencana.
Ibaratkan sumber air yang sangat segar, ilmu ibarat seperti itu. Ilmu yang bermanfaat untuk kebaikan. Dengan adanya atau kita gunakan ilmu yang bermanfaat kita dapat membangun kejayaan dan peradaban.
Sedangkan jika kita gunakan kebodohan maka bangunan yang telah kita buat akan lapuk atau roboh.
Mana yang harus didahulukan adab atau ilmu
نَحْـنُ إِلَى قَلِيْــلٍ مِــنَ اْلأَدَبِ أَحْوَجُ مِنَّا إِلَى كَثِيْرٍ مِنَ اْلعِلْمِ
“Kita lebih membutuhkan adab (meskipun) sedikit dibanding ilmu (meskipun) banyak.”
[Abdullah bin Mubarak, ulama sufi; dikutip dari Adabul ‘Âlim wal Muta‘allim karya Hadratussyekh Hasyim Asy’ari].
Adab adalah bagian terpenting dari kehidupan beragama. Sebab, aspek ini berkaitan dengan akhlak. Kalangan santri di Nusantara, misalnya, selalu berupaya mencium tangan ustadz atau para kiai.
Salah satu alasannya, mereka ingin keberkahan dari Allahu ta’ala, melalui jalur melakukan akhlak baik: bersopan santun pada orang yang lebih tua atau lebih berilmu. Yang dilakukan itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan kultus individu, seperti banyak ditudingkan oleh orang-orang yang tidak suka mencium tangan guru.
Sering kita mendengar bahwa di antara ciri yang membedakan manusia dari binatang adalah akal atau ilmu. Pernyataan ini tidak keliru. Tapi mesti digarisbawahi, di atas ilmu ada yang lebih urgen, yakni adab atau akhlak.
Sebab, ilmu seberapapun banyaknya tanpa disertai adab yang baik akan menjerumuskan manusia dalam perilaku binatang, atau mungkin lebih rendah. Betapa banyak peperangan, kesewenang-wenangan kekuasaan, kerusakan alam, atau sejenisnya muncul justru karena ditopang kemajuan ilmu pengetahuan dan kecanggihan teknologi zaman sekarang.
Karena itu, yang paling mendasar dibutuhkan bagi peradaban manusia adalah adab. Ilmu memang sangat penting, tapi pondasi berupa akhlak jelas lebih penting. Karena akhlaklah yang menyelamatkan manusia dari keserakahan, kezaliman, kekejaman, keangkuhan, kebencian, dan sifat-sifat tercela lainnya.
Selanjutnya KH Hasyim Asy’ari menyatakan bahwa puncak dari keilmuan seseorang adalah pengamalan ilmu tersebut dalam kehidupan sehari-hari, sebab hal itu merupakan buah dari ilmu dan faedah kebaikan dari umur seseorang serta merupakan bekal yang akan berguna di akhirat kelak, maka siapa saja yang dapat menggapai itu semua maka ia akan berbahagia baik di dunia maupun di akhirat, dan barangsiapa yang tidak dapat menggapainya maka ia akan berada dalam kerugian.
Kita telah memahami posisi ilmu begitu penting dalam kehidupan kita, terutama ilmu syariat Islam. Perlu diketahui bahwa syariat tidak hanya mengajarkan tentang akidah.
Tapi juga mengajarkan akhlak dan adab. Rasulullah pernah bersabda :
“Orang mukmin yang paling sempurna adalah orang yang paling baik akhlaknya”. Ibnu Umar juga pernah berkata, “Kami lebih membutuhkan adab meskipun sedikit, daripada ilmu meskipun banyak”.
Saatnya bagi kita untuk memperhatikan dan meninggikan adab dalam mencari ilmu yang telah dijaga dan dijalankan oleh ulama terdahulu. Sehingga ilmu dapat memberi manfaat, bukan hanya pada tatanan duniawi namun juga tatanan ukhrawi.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menuntut ilmu :
Pertama
pencari ilmu harus meyucikan hati dari segala pelanggaran-pelanggaran yang dimurkai Allah. Imam nawawi dalam Muqaddimah syarh al-muhaddab berkata : “seyogyanya bagi seorang penuntu ilmu menyucikan hatinya dari kotoran-kotoran sehingga ia layak meghafal dan mengamalkannya”.
Pada suatu kesempatan Imam Malik memberi nasihat kepada muridanya Imam Syafi’i, kala itu sang guru merasa takjub dengan kecerdasan muridnya : “Wahai Muhammad (Imam Syafi’i) bertakwalah kepada Allah Swt. jauhilah maksiat, sesungguhnya Allah telah meletakkan cahaya di dalam hati, maka janganlah engkau padamkan cahaya itu dengan kemaksiatan”.
kedua
ikhlas karena Allah di dalam mencari ilmu. Seseorang tidak diperkenankan mencari ilmu karena ingin kemuliaan diri sendiri belaka. Hal ini memberi pengertian bahwa ketika mencari ilmu, maka harus meninggalkan semua kebanggaan.
Mulai dari kebanggaan nasab, kedudukan, harta yang dimiliki. Semuanya dilepaskan demi terjun meraih ilmu, baik ilmu melalui tangan guru dan ulama’ dengan penuh keikhlasan kepada Allah.
Sejalan dengan firman Allah Swt :
وَمَاۤ أُمِرُوۤا۟ إِلَّا لِیَعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخۡلِصِینَ لَهُ ٱلدِّینَ حُنَفَاۤءَ وَیُقِیمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَیُؤۡتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَ ٰلِكَ دِینُ ٱلۡقَیِّمَةِ
Ketiga
penuntut ilmu harus selalu mengambil faidah atau manfaat dimanapun ia berada. Pencari ilmu mesti jeli melihat, mengamati, dan meraih dari tiap jengkal langkah hidupnya.
Abu Al-Bahtani berkata, “Duduk bersama suatu kaum yang ilmunya lebih baik daripada saya, lebih saya sukai daripada duduk dengan kaum yang derajat ilmunya lebih rendah terhadap diriku”.
Mengapa?, jawabannya, “Jika aku duduk orang yang dibawahku (keilmuannya) aku tidak bisa mengambil manfaat, tapi jika aku duduk dengan orang yang diatasku (keilmuannya) aku bisa mengambil manfaat sebanyak-banyaknya”.
Keempat
bersikap sederhana pada makanan dan minuman. Makan dan minum adalah kebutuhan siapa saja, namun hal ini tidak lantas untuk berlebih-lebihan, khususnya untuk pencari ilmu.
Dalam wasiyatul hikmah, dari Lukman al-Hakim berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, jika perut telah terisi penuh maka pikiran akan beku, pikiran akan berhenti mengalir, dan badan akan lumpuh dalam ibadah”.
Imam Syafi’i bekata, “Aku tidak pernah merasa kenyang sejak enam belas tahun silam, karena kenyang akan membebani badan, mengeraskan hati, dan menghilangkan kecerdasan”.
Wallahu'alam bisshowab
#Tag
Mana yang lebih penting ilmu atau adab
Ilmu dan adabperbedaan ilmu dan adab
adab atau ilmu yang lebih pentingpentingkah ilmu
pentingkah adabilmu yang didahulukan
mulia ilmu atau adabadab seseorang berilmu
bagaimana ibarat ilmu tanpa adabcara mendapatkan ilmu
penjelasan ilmu dan adab
Khutbah