Santri Mandiri - Sebagai makhluk sosial manusia pasti pernah mendengar kata utang-piutang atau hutang. Akad utang atau qard didalam istilah fiqh juga disebut aqad al-irfaq. Apa itu aqad al-irfaq yaitu akad yang didasari atas rasa belaskasih.
Dengan demikian, syariat itu tidak membenarkan segala macam praktik hutang piutang yang memberatkan salah satu pihak yang berhutang atau disebut dengan muqtaridl dan menguntungkan pihak yang memberi hutang atau disebut muqridl. Mengapa begitu? Sebab logika utang-piutang itu sendiri bertentangan dengan asas yang mendasari akad hutang, yakni rasa belas kasih.
Salah satu tolak ukur kualitas hubungan sosial yang baik yaitu bagaimana cara seseorang membayar utangnya kepada oranglain.
Terdapat dalam salah satu hadits yang menjelaskan sebagai berikut :
فَإِنَّ مِنْ خِيَارِ النَّاسِ أَحْسَنَهُمْ قَضَاءً
“Sesungguhnya sebagian dari orang yang paling baik adalah orang yang paling baik dalam membayar utang,” (HR. Bukhari).
“Sesungguhnya sebagian dari orang yang paling baik adalah orang yang paling baik dalam membayar utang,” (HR. Bukhari).
Bagaimana Menunda Bayar Utang Padahal Sudah Mampu!
Dalam hal ini Rasulullah menjelaskan didalam haditsnya:
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ
“Menunda-nunda membayar utang bagi orang yang mampu (membayar) adalah kezaliman,” (HR Bukhari).
“Menunda-nunda membayar utang bagi orang yang mampu (membayar) adalah kezaliman,” (HR Bukhari).
Tatkala syariat memberikan ketentuan kepada seseorang ketika memiliki uang yang cukup untuk membayar tanggungan utang yang sedang kamu miliki, maka kamu harus segera membayar hutangnya kepada orang yang telah memberikannya hutang.
Lalu bagaimana ketika menunda-nunda?
Menunda-nunda dalam membayar hutang adalah bentuk tindakan menzalimi orang lain. Sudah disinggung pada hadits diatas.
Bagaimana menurut para ulama mengenai hadits diatas?
Makna riwayat hadits diatas yakni haramnya menunda utang ketika kamu sudah cukup mampu untuk membayarnya. Namun berbeda ketika kamu memiliki utang namun belum memiliki banyak uang yang cukup untuk melunasinya.
Syekh Badruddin al-‘Aini menjelaskan:
لأن المعنى أنه يحرم على الغني القادر أن يمطل بالدين بعد استحقاقه بخلاف العاجز
“Makna hadits di atas bahwa haram bagi orang yang cukup secara finansial melakukan penundaan membayar utang setelah tetapnya utang tersebut, berbeda halnya dengan orang yang belum mampu (membayar),” (Syekh Badruddin al-‘Aini, ‘Umdah al-Qari Syarah Shahih al-Bukhori, juz 18, hal. 325).
“Makna hadits di atas bahwa haram bagi orang yang cukup secara finansial melakukan penundaan membayar utang setelah tetapnya utang tersebut, berbeda halnya dengan orang yang belum mampu (membayar),” (Syekh Badruddin al-‘Aini, ‘Umdah al-Qari Syarah Shahih al-Bukhori, juz 18, hal. 325).
Bagaimana ketika mempunyai uang untuk membayar hutang tetapi terdapat kepentingan lain?
Ketika kamu mempunyai uang yang cukup untuk melunasi hutangmu namun saat itu kamu memiliki udzur atau kendala untuk membayar hutangmu. Maka hukum yang sama juga berlaku ketika kamu sedang berada dalam keadaan demikian.
Dalam kondisi seperti ini kamu tidak berdosa tetapi masih mempunyai kewajiban untuk membayar utang tatkala sudah mampu untuk menyerahkannya kepada yang memberikan utang.
Seperti yang dijelaskan dalam kitab Syarah an-Nawawi ala Muslim:
فمطل الغنى ظلم وحرام ومطل غير الغنى ليس بظلم ولا حرام لمفهوم الحديث ولأنه معذور ولو كان غنيا ولكنه ليس متمكنا من الأداء لغيبة المال أو لغير ذلك جاز له التأخير إلى الامكان
“Menunda membayar utang bagi orang yang mampu adalah perbuatan zalim dan merupakan tindakan yang diharamkan. Sedangkan menundanya orang yang tidak mampu tidaklah dianggap zalim dan bukan perbuatan haram, berdasarkan mafhum dari hadits. Sebab ia dalam keadaan uzur (untuk membayar). Jika seseorang dalam keadaan tercukupi (untuk membayar utang), tapi ia tidak mampu untuk membayarnya karena hartanya tidak berada di tempat atau karena faktor yang lain, maka boleh baginya untuk mengakhirkan membayar utang sampai ia mampu membayarnya,”. (Syekh Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Syarah an-Nawawi ala Muslim, juz 10, hal. 227).
“Menunda membayar utang bagi orang yang mampu adalah perbuatan zalim dan merupakan tindakan yang diharamkan. Sedangkan menundanya orang yang tidak mampu tidaklah dianggap zalim dan bukan perbuatan haram, berdasarkan mafhum dari hadits. Sebab ia dalam keadaan uzur (untuk membayar). Jika seseorang dalam keadaan tercukupi (untuk membayar utang), tapi ia tidak mampu untuk membayarnya karena hartanya tidak berada di tempat atau karena faktor yang lain, maka boleh baginya untuk mengakhirkan membayar utang sampai ia mampu membayarnya,”. (Syekh Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Syarah an-Nawawi ala Muslim, juz 10, hal. 227).
Bagaimana ketika sudah mampu membayar tetapi belum jatuh tempo
Ketika kamu mempunyai utang kepada si A, pada saat itu kamu sudah mampu untuk membayar utangmu kepada si A. Tetapi dalam hal ini, utang yang akan kamu bayar itu belum jatuh tempo, atau tidak sesuai kesepakatan yang sudah disepakati dari awal.
Maka ketika ketika kamu berada dalam hal yang demikian kamu boleh mengakhirkan pembayaran utangmu kepada si A atau menunda untuk membayarnya, lalu ketika sudah jatuh tempo baru kamu bayar sesuai dengan kesepakatan dari awal.
Mengapa begitu? sebab dalam hal ini si A telah rela jika pembayarannya dibayar ketika sudah jatuh tempo meskipun ia sudah mampu untuk membayarnya. Selama itu tidak melewati batas pembayaran yang sudah disepakati.
Tetapi bagaimana ketika ia tidak sesuai dengan kesepakatan yang sudah disepakati?
Namun jika ternyata pada saat waktu jatuh tempo pembayaran ternyata ia tidak dapat membayar utangnya, karena adanya suatu hal, padahal sebelumnya ia berada dalam keadaan yang mampu, maka dalam hal ini ia dianggap teledor dan termasuk bagian dari orang zalim seperti yang dijelaskan dalam hadits di atas.
Mana yang harus didahulukan, Membayar utang atau sedekah?
Anjuran syariat Islam tentang melaksanakan sedekah sudah tak terhitung banyaknya. Misalnya keterangan dalam Al-Qur’an Surat an-Nisa’ berikut ini:
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
“Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan, tentang hal itu sungguh Allah Maha-Mengetahui,” (QS an-Nisa: 92).
“Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan, tentang hal itu sungguh Allah Maha-Mengetahui,” (QS an-Nisa: 92).
Pada ayat yang lain Allah SWT. bahkan menjanjikan ganjaran yang agung terhadap orang yang mengajak orang lain untuk bersedekah. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam salah satu firman-Nya:
لا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْراً عَظِيماً
“Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barangsiapa berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak kami akan memberinya pahala yang besar”. (QS an-Nisa’: 114).
“Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barangsiapa berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak kami akan memberinya pahala yang besar”. (QS an-Nisa’: 114).
Apakah anjuran utang bersifat umum sehingga disunnahkan
Namun apakah anjuran melaksanakan sedekah ini bersifat umum? Sehingga bagi siapa pun disunnahkan untuk bersedekah kapan pun itu, tanpa dibatasi oleh hal lain?
Bila seseorang masih memiliki tanggungan utang kepada orang lain, apakah mendermakan harta tetap disunnahkan baginya, atau justru hal yang paling dianjurkan baginya adalah membayar utang terlebih dahulu? Mengenai pertanyaan di atas, baiknya kita simak penjelasan Rasulullah berikut ini:
خَيْرُ الصَّدَقَةِ مَا كَانَ عَنْ ظَهْرِ غِنًى وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ
“Sedekah yang paling baik adalah melakukan sedekah dalam kondisi tercukupi, mulailah dari orang yang wajib kamu nafkahi,” (HR. Bukhari).
“Sedekah yang paling baik adalah melakukan sedekah dalam kondisi tercukupi, mulailah dari orang yang wajib kamu nafkahi,” (HR. Bukhari).
Berkaitan dengan hadits di atas, Imam Bukhari menjelaskan secara khusus tentang mana yang didahulukan antara bersedekah dengan membayar utang pada orang lain:
بَاب لَا صَدَقَةَ إِلَّا عَنْ ظَهْرِ غِنًى وَمَنْ تَصَدَّقَ وَهُوَ مُحْتَاجٌ أَوْ أَهْلُهُ مُحْتَاجٌ أَوْ عَلَيْهِ دَيْنٌ فَالدَّيْنُ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى مِنْ الصَّدَقَةِ وَالْعِتْقِ وَالْهِبَةِ وَهُوَ رَدٌّ عَلَيْهِ
“Bab menjelaskan tidak dianjurkannya sedekah kecuali dalam kondisi tercukupi. Barangsiapa yang bersedekah, sedangkan dia dalam keadaan membutuhkan atau keluarganya membutuhkan atau ia memiliki tanggungan utang, maka utang lebih berhak untuk dibayar daripada ia bersedekah, memerdekakan budak, dan hibah. Dan sedekah ini tertolak baginya” (Imam Bukhari, Shahih al-Bukhari, juz 2 , hal. 112).
“Bab menjelaskan tidak dianjurkannya sedekah kecuali dalam kondisi tercukupi. Barangsiapa yang bersedekah, sedangkan dia dalam keadaan membutuhkan atau keluarganya membutuhkan atau ia memiliki tanggungan utang, maka utang lebih berhak untuk dibayar daripada ia bersedekah, memerdekakan budak, dan hibah. Dan sedekah ini tertolak baginya” (Imam Bukhari, Shahih al-Bukhari, juz 2 , hal. 112).
Syekh Badruddin al-‘Aini mengartikan perkataan Imam Bukhari di atas dalam salah satu karyanya ‘Umdah al -Qari Syarh Shahih al-Bukhari:
والمعنى أن شرط التصدق أن لا يكون محتاجا ولا أهله محتاجا ولا يكون عليه دين فإذا كان عليه دين فالواجب أن يقضي دينه وقضاء الدين أحق من الصدقة والعتق والهبة لأن الابتداء بالفرائض قبل النوافل وليس لأحد إتلاف نفسه وإتلاف أهله وإحياء غيره وإنما عليه إحياء غيره بعد إحياء نفسه وأهله إذ هما أوجب عليه من حق سائر الناس
“Maksud dari perkataan (Imam Bukhari) di atas bahwa syarat bersedekah adalah sekiranya dirinya atau keluarganya tidak dalam keadaan butuh dan tidak memiliki utang. Jika ia memiliki utang, maka hal yang seharusnya dilakukan adalah membayar utangnya. Karena membayar utang lebih baik untuk dilakukan (baginya) daripada bersedekah, memerdekakan budak, dan menghibahkan (harta), sebab hal yang wajib itu (harus) didahulukan sebelum melakukan kesunnahan. Dan tidak diperkenankan bagi seseorang untuk menyengsarakan dirinya dan keluarganya sedangkan ia menghidupi (membuat nyaman) orang lain. Seharusnya ia menghidupi orang lain setelah menghidupi dirinya dan keluarganya, sebab dirinya dan keluarganya lebih wajib untuk diperhatikan daripadan orang lain,” (Syekh Badruddin al-‘Aini, Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, juz 13, hal. 327).
“Maksud dari perkataan (Imam Bukhari) di atas bahwa syarat bersedekah adalah sekiranya dirinya atau keluarganya tidak dalam keadaan butuh dan tidak memiliki utang. Jika ia memiliki utang, maka hal yang seharusnya dilakukan adalah membayar utangnya. Karena membayar utang lebih baik untuk dilakukan (baginya) daripada bersedekah, memerdekakan budak, dan menghibahkan (harta), sebab hal yang wajib itu (harus) didahulukan sebelum melakukan kesunnahan. Dan tidak diperkenankan bagi seseorang untuk menyengsarakan dirinya dan keluarganya sedangkan ia menghidupi (membuat nyaman) orang lain. Seharusnya ia menghidupi orang lain setelah menghidupi dirinya dan keluarganya, sebab dirinya dan keluarganya lebih wajib untuk diperhatikan daripadan orang lain,” (Syekh Badruddin al-‘Aini, Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, juz 13, hal. 327).
Lebih jauh lagi, menurut pandangan para ulama fiqih mazhab Syafi’i, bersedekah ketika masih memiliki tanggungan utang adalah menyalahi kesunnahan, bahkan tindakan tersebut bisa menjadi haram ketika utang hanya bisa lunas dari harta tersebut atau utang tidak mungkin akan terlunasi dari harta yang lain, seandainya ia bersedekah dengan harta itu.
Syekh Khatib asy-Syirbini menjelaskan:
ـ (ومن عليه دين أو) لم يكن عليه (و) لكن (له من تلزمه نفقته يستحب) له (أن لا يتصدق حتى يؤدي ما عليه) فالتصدق بدونه خلاف المستحب - (قلت الأصح تحريم صدقته بما يحتاج إليه لنفقة من تلزمه نفقته) أو يحتاج إليه لنفقة نفسه ولم يصبر على الإضاقة (أو لدين لا يرجو له وفاء) لو تصدق به
“Seseorang yang memiliki utang atau ia tidak punya utang namun berkewajiban menafkahi orang lain, maka disunnahkan baginya untuk tidak bersedekah sampai ia membayar tanggungan yang wajib baginya. Sebab bersedekah tanpa (disertai) membayar tanggungannya adalah menyalahi kesunnahan. Aku berkata. 'Menurut pendapat ashah (yang kuat) haram menyedekahkan harta yang ia butuhkan untuk menafkahi orang yang wajib dinafkahinya, atau menyedekahkan harta yang ia butuhkan untuk menafkahi dirinya sendiri, sedangkan ia tidak tahan untuk menghadapi kondisi hidup yang mendesak itu, atau harta tersebut ia butuhkan untuk membayar utang yang tidak dapat diharapkan untuk dapat dilunasi (dari harta yang lainnya) seandainya ia bersedekah,” (Syekh Khatib Asy-Syirbini, Mughni al-Muhtaj, juz 3, hal. 122).
“Seseorang yang memiliki utang atau ia tidak punya utang namun berkewajiban menafkahi orang lain, maka disunnahkan baginya untuk tidak bersedekah sampai ia membayar tanggungan yang wajib baginya. Sebab bersedekah tanpa (disertai) membayar tanggungannya adalah menyalahi kesunnahan. Aku berkata. 'Menurut pendapat ashah (yang kuat) haram menyedekahkan harta yang ia butuhkan untuk menafkahi orang yang wajib dinafkahinya, atau menyedekahkan harta yang ia butuhkan untuk menafkahi dirinya sendiri, sedangkan ia tidak tahan untuk menghadapi kondisi hidup yang mendesak itu, atau harta tersebut ia butuhkan untuk membayar utang yang tidak dapat diharapkan untuk dapat dilunasi (dari harta yang lainnya) seandainya ia bersedekah,” (Syekh Khatib Asy-Syirbini, Mughni al-Muhtaj, juz 3, hal. 122).
Berbeda halnya ketika masih diharapkan lunasnya utang dari harta yang lain, maka boleh baginya untuk bersedekah, selama tagihan utangnya belum jatuh tempo pembayaran. Beliau (Syekh Khatib asy-Syirbini) melanjutkan:
وأما تقديم الدين فلأن أداءه واجب فيتقدم على المسنون فإن رجاله وفاء من جهة أخرى ظاهرة فلا بأس بالتصدق به إلا إن حصل بذلك تأخير وقد وجب وفاء الدين على الفور بمطالبة أو غيرها فالوجه وجوب المبادرة إلى إيفائه وتحريم الصدقة بما يتوجه إليه دفعه في دينه كما قاله الأذرعي
“Diwajibkannya mendahulukan membayar utang, sebab membayar utang adalah hal yang wajib, maka harus didahulukan dari perkara yang sunnah. Sedangkan jika utangnya bisa lunas dari harta yang lain, maka tidak masalah bersedekah dengan harta tersebut, kecuali ketika akan berakibat pada diakhirkannya pembayaran, sedangkan wajib baginya untuk membayar utang sesegera mungkin dengan adanya tagihan (dari orang yang memberi utang) atau hal lainnya, maka dalam keadaan demikian wajib baginya untuk segera melunasi utangnya dan haram untuk mensedekahkan harta yang akan digunakan untuk membayar utang. Pendapat ini seperti yang diungkapkan oleh Imam al-Adzra’i,” (Syekh Khatib Asy-Syirbini, Mughni al-Muhtaj, juz 3, hal. 122).
“Diwajibkannya mendahulukan membayar utang, sebab membayar utang adalah hal yang wajib, maka harus didahulukan dari perkara yang sunnah. Sedangkan jika utangnya bisa lunas dari harta yang lain, maka tidak masalah bersedekah dengan harta tersebut, kecuali ketika akan berakibat pada diakhirkannya pembayaran, sedangkan wajib baginya untuk membayar utang sesegera mungkin dengan adanya tagihan (dari orang yang memberi utang) atau hal lainnya, maka dalam keadaan demikian wajib baginya untuk segera melunasi utangnya dan haram untuk mensedekahkan harta yang akan digunakan untuk membayar utang. Pendapat ini seperti yang diungkapkan oleh Imam al-Adzra’i,” (Syekh Khatib Asy-Syirbini, Mughni al-Muhtaj, juz 3, hal. 122).
Hal ini seperti yang dijelaskan dalam kitab Nihayah al-Muhtaj:
قال الأذرعي : وهذا ليس على إطلاقه إذ لا يقول أحد فيما أظن أن من عليه صداق أو غيره إذا تصدق بنحو رغيف مما يقطع بأنه لو بقي لم يدفعه لجهة الدين أنه لا يستحب له التصدق به ، وإنما المراد أن المسارعة لبراءة الذمة ، أولى وأحق من التطوع على الجملة
“Keharaman ini tidaklah bersifat mutlak. Sebab tidak akan mungkin ada ulama’ yang berpandangan bahwa orang yang memiliki tanggungan, ketika ia bersedekah roti atau harta yang serupa, sekiranya ketika harta tersebut tetap maka ia tidak akan menyerahkan harta tersebut untuk pembayaran utangnya (karena terlalu sedikit), (tidak ada ulama yang berpandangan) bahwa menyedekahkan roti tersebut tidak disunnahkan. Karena yang dimaksud (tidak sunnahnya bersedekah ketika mempunyai utang) adalah menyegerakan untuk terbebas dari tanggungan lebih baik daripada melakukan kesunnahan dalam skala umum” (Syekh Syamsuddin ar-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, Juz 6, Hal. 174).
“Keharaman ini tidaklah bersifat mutlak. Sebab tidak akan mungkin ada ulama’ yang berpandangan bahwa orang yang memiliki tanggungan, ketika ia bersedekah roti atau harta yang serupa, sekiranya ketika harta tersebut tetap maka ia tidak akan menyerahkan harta tersebut untuk pembayaran utangnya (karena terlalu sedikit), (tidak ada ulama yang berpandangan) bahwa menyedekahkan roti tersebut tidak disunnahkan. Karena yang dimaksud (tidak sunnahnya bersedekah ketika mempunyai utang) adalah menyegerakan untuk terbebas dari tanggungan lebih baik daripada melakukan kesunnahan dalam skala umum” (Syekh Syamsuddin ar-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, Juz 6, Hal. 174).
Maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa membayar utang adalah hal yang lebih didahulukan daripada bersedekah.jendela dakwah
Bahkan bersedekah merupakan sebuah larangan ketika utang yang menjadi tanggungannya telah jatuh tempo atau tidak diharapkan adanya harta lain yang dapat melunasi utangnya.
Sedangkan bersedekah pada harta-harta remeh yang tidak terlalu signifikan dalam pembayaran utangnya tetap dianjurkan, menurut pandangan Imam al-Adzra’i.
Seseorang mesti bijak dalam mengelola keuangan yang ia miliki. Bersedekah memang hal yang dianjurkan, tapi menjadi tidak baik tatkala dilakukan dalam keadaan terlilit utang atau tersandra oleh kebutuhan lain yang lebih urgen, seperti menafkahi dirinya dan keluarganya.
Maka dalam keadaan demikian sebaiknya ia mendahulukan hal-hal yang wajib ia penuhi daripada melakukan hal-hal yang masih dalam koridor kesunnahan, sebab hal demikian merupakan manifestasi dari kaidah “Al-Fardlu afdlalu minan-nafli” (hal yang wajib lebih utama dibanding hal yang sunnah).