Santri Mandiri - Ketika sedang berpuasa kita sering dipertemukan dengan persoalan disuguhi makanan. Baik itu sedang bertamu atau sedang menghadiri acara. Lalu bagaimana ketika dalam keadaan seperti itu apa yang harus kita lakukan?
Pertanyaan
Penjelasan
Ketika melakukan puasa sunah, terkadang seseorang mendapatkan suguhan makanan maupun minuman dari orang lain yang tidak mengetahui bahwa ia sedang berpuasa. Keadaan itu sering dilema, apakah membatalkan puasa sunahnya atau tetap melanjutkan.Dalam menghadapi keadaan demikian, apabila ada kekhawatiran menyinggung perasaan orang lain yang memberikan makanan, maka lebih utama membatalkan puasa dan ia sudah mendapatkan pahala yang telah dilakukannya. Namun apabila ada tidak kekhawatiran menyinggung perasaan orang tersebut, maka lebih baik untuk tetap berpuasa dan mengatakan secara halus bahwa ia sedang berpuasa., maka Syekh Zainuddin al-Malibari menjelaskan dalam kitab Fath al-Mu’in:
يُنْدَبُ الْأَكْلُ فِي صَوْمِ نَفْلٍ وَلَوْ مُؤَكَّدًا لِإِرْضَاءِ ذِي الطَّعَامِ بِأَنْ شَقَّ عَلَيْهِ إِمْسَاكُهُ وَلَوْ آخِرَ النِّهَارِ لِلْأَمْرِ بِالْفِطْرِ وَيُثَابُ عَلَى مَا مَضَى وَقَضَى نَدْبًا يَوْمًا مَكَانَهُ فَإِنْ لَمْ يَشُقُّ عَلَيْهِ إِمْسَاكُهُ لُمْ يُنْدَبِ الْإِفْطَارُ بَلِ الْإِمْسَاكُ أَوْلَى قَالَ الْغَزَالِي: يُنْدَبُ أَنْ يَنْوِيَ بِفِطْرِهِ إِدْخَالَ السُّرُوْرِ عَلَيْهِ.
Artinya: “Disunahkan membatalkan dengan makan ketika puasa sunah meskipun puasanya sangat dianjurkan dalam rangka melegakan pemberi makanan. Hal itu dilakukan ketika ia merasa sulit untuk tetap melanjutkan puasanya, meskipun telah di penghujung hari. Membatalkan itu adalah perintah dan ia akan mendapatkan pahala puasa yang telah dilakukannya. Ia juga dianjurkan untuk menqadlai di lain hari. Namun apabila ia tidak merasa sulit mempertahankan puasanya, maka tidak dianjurkan membatalkan puasa dan hal itu lebih utama. Imam al-Ghazali menambahkan, saat membatalkan puasanya disunahkan berniat membahagiakan orang yang memberikan makanan.”[1]
Imam Taqiyudin al-Hishni juga menjelaskan dalam kitab Kifayah al-Akhyar:
وَمَنْ شَرَعَ فِي صَوْمِ تَطَوُّعٍ لَمْ يَلْزَمْهُ إِتْمَامُهُ وَيُسْتَحَبُّ لَهُ الْاِتْمَامُ فَلَوْ خَرَجَ مِنْهُ فَلَا قَضَاءَ لَكِنْ يُسْتَحَبُّ وَهَلْ يُكْرَهُ أَن يَخْرُجَ مِنْهُ نَظَرٌ إِنْ خَرَجَ لِعُذْرٍ لَمْ يُكْرَهْ وَإِلَّا كُرِهَ وَمِنَ الْعُذْرِ أَن يُعِزَّ عَلَى مَنْ يُضِيْفُهُ امْتِنَاعَهُ مِنَ الْأَكْلِ
Artinya: “Orang yang berpuasa sunah tidak wajib menyelesaikannya. Akan tetapi ia dianjurkan untuk menyelesaikannya. Apabila ia membatalkan puasa sunah di tengah jalan, tidak ada keharusan qadha baginya, tetapi hanya dianjurkan (qadha). Apakah membatalkan puasa sunah itu makruh? permasalahan ini patut dipertimbangkan. Apabila ia membatalkannya karena uzur, maka tidak makruh. Tetapi jika tidak karena udzur tertentu, maka pembatalan puasa sunah makruh. Dan di antara contoh uzur ialah penghormatan kepada orang yang menjamunya yang dapat mencegahnya untuk makan.”[2]
Ketentuan ini hanya berlaku hanya pada puasa sunah. Adapun puasa wajib (Ramadhan, puasa Qadla, dan puasa Kafarat) harus tetap melanjutkan puasanya.
waAllahu a’lam
Sumber:- Zainuddin al-Malibari, Fath al-Mu’in, hlm. 493.
- Taqiyudin al-Hishni, Kifayah al-Akhyar, I/208.
- Lirboyo.net