Santrimandiri - Bolehkah Membatalkan Puasa Sunnah, Bagaimana Hukum dan Konsekuensinya | Umat islam ketika sudah melewati bulan Ramadhan disambut dengan bulan Syawal, dimana pada 1 Syawal ini Umat Islam meraih kemenangan.
Sebagian umat islam juga melepas rindunya dengan puasa Ramadhan dengan mengamalkan puasa syawal. Dimana biasanya puasa sunnah Syawal ini dilaksanakan setelah 1 Syawal, yaitu tanggal 2 Syawal, sampai 6 Hari. Tetapi boleh juga melaksanakan puasa syawal pada tanggal berapapun asalkan masih dalam bulan syawal.
Bolehkah Membatalkan Puasa Sunnah, Bagaimana Hukum dan Konsekuensinya
Dalam kasus kali ini bagaimana ketika seseorang sedang puasa sunnah syawal atau rajab atau senin kamis atau puasa sunnah yang lainnya, itu disuguhi makananan? lantas apa yang harus kita lakukan, apakah melanjutkan berpuasa ataukah membatalkan puasanya. Lalu bagaimana hukum serta konsekuensinya ketika membatalkan puasa sunnah?
Berikut ini akan dipaparkan secara singkat mengenai persoalan yang sudah disinggung diatas.
Alur Kisah Penjelasan Mengenai Membatalkan Puasa Sunnah
Ketika kita sedang mengamalkan puasa sunnah, terkadang ketika bersilaturahmi keteman ataupun kerabat kita sering disuguhi makanan dan minuman, dari situ orang lain tidak mengetahui bahwa kita sedang berpuasa.
Terkadang juga kita sampai tidak enak hati untuk menolaknya, takutnya menyakiti hati sang tuan rumah. Keadaan seperti inilah yang sering membuat kita bingung untuk melanjutkan berpuasa ataukah membatalkannya.
Dalam keadaan demikian, apabila kita tidak enak hati kepada sang tuan rumah takutnya menyinggung perasaannya dan khawatir menyakiti hatinya, maka lebih baik membatalkan puasa.
Lalu bagaimana dengan pahala yang akan kita dapat? Apakah kita mendapat pahala yang telah dilakukan?
Tentu saja ketika kita membatalkan puasa sunnah karena takut akan hal demikian, maka kita mendapatkan pahala yang telah kita lakukan.
Berbeda halnya ketika kita tidak khawatir menyinggung perasaan sang tuan rumah, lebih utama dan lebih baik kita melanjutkan untuk tetap berpuasa dan mengatakan kepada sang tuan rumah (orang tersebut) secara halus bahwasanya saya sedang berpuasa.
Syekh Zainuddin al-Malibari menjelaskan dalam kitab Fath al-Mu’in:
يُنْدَبُ الْأَكْلُ فِي صَوْمِ نَفْلٍ وَلَوْ مُؤَكَّدًا لِإِرْضَاءِ ذِي الطَّعَامِ بِأَنْ شَقَّ عَلَيْهِ إِمْسَاكُهُ وَلَوْ آخِرَ النِّهَارِ لِلْأَمْرِ بِالْفِطْرِ وَيُثَابُ عَلَى مَا مَضَى وَقَضَى نَدْبًا يَوْمًا مَكَانَهُ فَإِنْ لَمْ يَشُقُّ عَلَيْهِ إِمْسَاكُهُ لُمْ يُنْدَبِ الْإِفْطَارُ بَلِ الْإِمْسَاكُ أَوْلَى قَالَ الْغَزَالِي: يُنْدَبُ أَنْ يَنْوِيَ بِفِطْرِهِ إِدْخَالَ السُّرُوْرِ عَلَيْهِ.
“Disunahkan membatalkan dengan makan ketika puasa sunah meskipun puasanya sangat dianjurkan dalam rangka melegakan pemberi makanan. Hal itu dilakukan ketika ia merasa sulit untuk tetap melanjutkan puasanya, meskipun telah di penghujung hari. Membatalkan itu adalah perintah dan ia akan mendapatkan pahala puasa yang telah dilakukannya. Ia juga dianjurkan untuk menqadlai di lain hari. Namun apabila ia tidak merasa sulit mempertahankan puasanya, maka tidak dianjurkan membatalkan puasa dan hal itu lebih utama. Imam al-Ghazali menambahkan, saat membatalkan puasanya disunahkan berniat membahagiakan orang yang memberikan makanan.”
Kitab Kifayatul Akhyar berikut ini:
ومن العذر أن يعز على من يضيفه امتناعه من الأكل ويكره صوم يوم الجمعة وحده تطوعا وكذا إفراد يوم السبت وكذا إفراد يوم الأحد والله أعلم
Artinya, “Salah satu udzur syar’i adalah penghormatan kepada orang yang menjamunya yang mencegahnya untuk makan. Makruh juga puasa sunah hari Jum‘at semata. Sama makruhnya dengan puasa sunah hari Sabtu semata atau hari Ahad saja,”
Apakah Ketika Membatalkan Puasa Sunnah Harus DiQadha?
Imam Syafi'i menjelaskan bahwa ia tidak mewajibkan qadha bagi mereka yang membatalkan puasa sunnah baik puasa syawal ataupun puasa sunnah yang lainnya.
Kutipan Kitab Kifayatul Akhyar berikut ini:
ومن شرع في صوم تطوع لم يلزمه إتمامه ويستحب له الإتمام فلو خرج منه فلا قضاء لكن يستحب وهل يكره أن يخرج منه نظر إن خرج لعذر لم يكره وإلا كره
Artinya, “Orang yang sedang berpuasa sunah tidak wajib merapungkannya (hingga maghrib). Tetapi ia dianjurkan untuk merampungkannya. Jika ia membatalkan puasa sunah di tengah jalan, tidak ada kewajiban qadha padanya, tetapi dianjurkan mengqadhanya. Apakah membatalkan puasa sunah itu makruh? Masalah ini patut dipertimbangkan. Jika ia membatalkannya karena udzur, maka tidak makruh. Tetapi jika tidak karena udzur tertentu, maka pembatalan puasa sunah makruh,”
Wallahu'alam
puasa