Sebagai gantinya, mereka diwajibkan membayar fidyah/kafarat (denda) sebanyak 1 mud atau 7 ons makanan pokok untuk setiap 1 hari yang ditinggalkan dan dalam konteks Indonesia adalah beras.
Apabila 1 bulan penuh maka wajib 21 Kilogram beras untuk fakir miskin.
Namun dengan berbagai alasan, tak jarang sebagian orang mengeluarkan fidyah menggunakan uang tunai. Dalam sebuah referensi dituturkan:
وَلاَ يَجُوزُ إِخْرَاجُ الْقِيمَةِ عِنْدَ الْجُمْهُورِ غَيْرِ الْحَنَفِيَّةِ عَمَلاً بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ} وَقَوْلِهِ سُبْحَانَهُ: {فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا}
“Dan tidak boleh mengeluarkan nominal harga makanan menurut mayoritas ulama selain Hanafiyyah karena mengamalkan firman Allah ‘maka kafaratnya adalah memberi makan sepuluh orang miskin’ dan firman Allah ‘maka wajib memberi makan enam puluh orang miskin.”
(Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, XXXV/103)
Dr. Wahbah az-Zuhaili membeberkan alasannya:
وَسَبَبُ جَوَازِ دَفْعِ الْقِيْمَةِ أَنَّ الْمَقْصُوْدَ سَدُّ الْخَلَّةِ وَدَفْعُ الْحَاجَةِ وَيُوْجَدُ ذَلِكَ فِي الْقِيْمَةِ
“Dan penyebab diperbolehkan menyerahkan nominal harga adalah karena tujuannya untuk memenuhi kebutuhan dan hal tersebut bisa tercapai dengan nominal harga tersebut.
(Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, IX/7156)
Namun yang harus diperhatikan, apabila membayar fidyah menggunakan uang dengan cara mengikuti pendapat madzhab Hanafi maka kadar uang yang dikeluarkan disesuaikan dengan takaran dalam madzhab tersebut. Yakni seharga 3,8 kilogram kurma basah, kurma kering atau anggur atau 1,9 kilogram gandum.
Menurut madzhab tersebut hanya empat macam makanan itulah yang dalilnya jelas sehingga dijadikan patokan harga. Maka wajar dalam madzhab ini tidak mematok pada makanan pokok di daerah setempat.
(Ad-Dur al-Mukhtar, II/364)
WAllahu a’lam